7.19.2011

Dulu, Kini, dan Nanti



Tito : "Dulu, Kini, dan Nanti"


Assalamualaikum...

Perkenalkan nama saya Tito Rizal Prabowo, mungkin satu-satunya alasan kenapa orang tua saya memberi nama depan “Tito” adalah agar saya mempunyai sifat seperti mereka berdua. Kenapa? “Tito” adalah nama singkatan dari mereka berdua “Ti-” berasal dari kata yang terdapat pada nama belakang alm. Ibu saya vida umi subiyan”Ti” dan “To-“ berasal dari kata yang terdapat pada nama belakang Bapak saya, susan”To”. Sedangkan “Rizal” dan “Prabowo” sampai saat ini masih menjadi misteri bagi saya karena orang tua saya pun masih belum mau bicara kenapa ada kata “Rizal” dan “Prabowo” dalam nama saya. Seiring berjalannya waktu, saya yakin orang tua saya menginginkan masing-masing sifat kebaikan Beliau berdua ada pada diri saya. Bapak saya seorang insinyur teknik sipil UNDIP yang mempunyai sikap tegas, cuek, berpendirian teguh, kuat, rajin dan cerdas. Kemudian Semua sifat itu diseimbangkan dengan sifat ibu saya yang merupakan sarjana peternakan UNDIP, penuh kasih sayang, jarang marah, sabar, pengertian, tidak tega-an, bersuara lemah lembut, penyayang anak kecil, dll. Yah, pada kesimpulannya, walaupun belum saya dapatkan arti kata “rizal” dan “prabowo”, saya yakin arti kata “tito” sudah cukup mewakili semua tujuan orang tua saya menghadirkan saya di dunia ini.


Saya dilahirkan di Semarang 20 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 5 Februari di R.S. Islam Roemani Semarang dekat Universitas Diponegoro kampus I (dekat simpang lima). Ada banyak Rumah Sakit di Semarang, bahkan di dekat lingkungan rumah. Tapi entah kenapa orang tua lebih memilih rumah sakit yang berjarak 7 KM di pusat kota. Satu yang pasti, saya yakin orang tua saya tidak bertujuan agar saya menjadi “orang kota” yang tempat lahirnya bisa dibanggakan, tetapi lebih kepada suasana islami yang ada pada rumah sakit roemani. Saya yakin orang tua saya sangat berharap bahwa sang “tito rizal prabowo” beliau berdua datangkan di dunia ini dalam suasana islam dan bisa menjadi sosok yang turut menyelamatkan agama ini. Walaupun background Alm. Ibu saya yang merupakan seorang muallaf dan bapak yang (dahulu) walaupun islam tetapi kurang paham tentang agama. Kota Semarang sendiri tidak meninggalkan kenangan yang banyak pada saya karena ketika umur 12 tahun saya harus pindah ke purworejo, mengikuti bapak yang dimutasi ke daerah. Tapi saya akui, semarang merupakan kota kenangan yang cukup luar biasa bagi masa kecil saya, mulai dari bertemu dan bermain di bukit bersama teman-teman seumuran, bersepeda, mengaji ketika umur 4 tahun, kegiatan sekolah yang sangat padat bahkan lebih padat dari pada bapak saya, dikenalkan olahraga basket oleh teman-teman, dll.


Saya adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Kakak saya diberi nama sesuai dengan kedudukan yang diharapkan orang tua, Imam Supranoto, (kalo menurut saya nama itu diartikan sebagai seorang pemimpin yang bisa menata diri dan lingkungan di sekitarnya^^) saya sangat menghormati kakak saya karena kakak adalah seorang yang berpendirian teguh, cerdas, keras dan tegas, humoris. beliau contohkan kepada kedua adiknya bagaimana harus bersikap kepada lingkungan sekitar karena salah satu sifat kakak adalah pandai menempatkan diri dalam segala situasi lingkungan. Adik saya lah yang mungkin paling fenomenal (:D), namanya Handi Tri Husodo, (kalo menurut penafsiran saya, bapak ibu menginginkan anaknya yang bungsu ini untuk menjadi seorang yang bisa memberi solusi (pengobatan)atas semua masalah yang ada pada keluarga), cerdas, berpendirian kuat, pemberani, selalu ingin tahu, dan ramah lingkungan adalah salah satu dari banyak sifat kebaikan yang ada padanya.

Keluarga saya adalah keluarga yang sederhana, tidak kekurangan, tetapi juga tidak bisa dibilang berlebihan. Bapak selalu memberi wejangan kepada anak-anaknya agar hidup sederhana dan tidak terlalu melebih-lebihkan nikmat yang Allah berikan kepada keluarga. Bapak lebih suka berkendara menggunakan sepeda motor untuk pergi ke kantor, ibu lebih memilih untuk tidak bekerja dan mengurus semua kebutuhan kami bertiga, sehingga semua kasih sayang beliau sepenuhnya tercurah kepada kami sekeluarga. Beliau paham posisi dan kemampuan beliau ketika kami berempat(plus bapak) adalah lelaki yang membutuhkan perhatian dan cinta kasih beliau ketimbang membantu bapak mencari nafkah untuk keluarga. Satu yang saya kagumi dari ibu adalah sifat sabar yang saya yakin sangat susah disaingi oleh ibu manapun di dunia. Menjadi tempat curhat bagi anak-anaknya, penyerap pelampiasan kekesalan bapak kepada rekan-rekan kantornya dengan marah sendiri (tapi bapak anti kekerasan dan kekasaran), pagi-pagi sekali menyiapkan semua kebutuhan bapak, mas imam, saya, dan handi yang akan berangkat sekolah (karena kondisi nya adalah jarak rumah dengan SD adalah +- 7 KM dengan traffic yang tidak ketulungan di jalan-jalan kota semarang ), mengantarkan saya dan handi ke sekolah. Bahkan ada satu kejadian ketika topi saya ketinggalan saat hari senin akan upacara padahal waktu sudah menunjukkan pukul 6.30, sedangkan waktu upacara adalah 7.00, waktu tempuh rumah dengan sekolah Pulang pergi bisa memakan waktu 45 menit lebih tetapi ibu berusaha untuk memacu kendaraannya pulang kerumah hanya untuk mengambilkan topi saya dan saat sampai di sekolah lagi, ternyata topi saya hanya terselip di tas bagian bawah (maaf ya bu.... ^^). Banyak nilai dan teladan yang bisa saya petik selama proses pembelajaran saya di Semarang. Tetapi kemudian Allah tunjukkan proses pembelajaran yang lain ketika kami sekeluarga harus pindah ke Purworejo, kota kecil antah berantah yang berada di pesisir (gambaran pertama saat mendengar kata “purworejo”).

Bapak ibu saya menginginkan anak-anaknya tumbuh dengan bekal agama yang cukup. Tidak hanya menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa, tetapi juga orang yang berakhlak Al Qur’an dan As Sunnah. Setidaknya itulah kalimat doa yang selalu beliau ucapkan ketika kita bertiga merayakan ulang tahunnya masing-masing. Ketika usia saya menginjak 3 tahun, pendidikan pertama yang saya jalani adalah baca tulis Al Qur’an di TPA masjid dekat rumah, bukan pendidikan formal seperti orang tua lain idam-idamkan. Dan saat saya menempuh pendidikan di SD Sompok Semarang, dengan kegiatan sekolah dari fajar hingga petang menjelang, Bapak tetap mengutamakan pendidikan agama dengan memanggil guru agama privat setiap hari. Pak ustdz. Ali, yaaa, beliau yang menjadi guru untuk kami bertiga mengaji agama rahmatan lil alamain ini^^. Ketika kami sekeluarga pindah ke purworejo pun, bapak langsung mencarikan kami guru mengaji, mas gun, itu lah guru kami di puroworejo. Bapak memang jarang mengaji dan mencari tahu tentang indahnya islam karena kesibukan beliau bekerja mencari nafkah, tetapi seiring berjalannya waktu saat kepindahan kami di purworejo, beliau mulai mencoba belajar dan belajar, itu semua tak lepas dari peran ibu yang selalu mendorong dan memotivasi bapak untuk tidak malu belajar dan mengaji pada orang yang lebih muda dari beliau. Ibu sendiri adalah seorang muslimah yang taat ibadah, kadang tanpa kehadiran pak ali ketika di semarang, atau mas gun ketika di purworejo, ibu mendorong kami untuk mengaji sendiri atau pun disimak oleh beliau.

Semua proses pembelajaran yang beliau ajarkan kepada saya, menuntun pada sebuah kebiasaan dan pemenuh kebutuhan ruhiyah. Kebiasaan yang alhamdulillah (semoga Allah tetap mengistiqomahkan) masih bisa saya pertahankan adalah sholat 5 waktu tepat waktu, sholat sunnah, dan mengaji sendiri. Terkadang untuk memenuhi kebutuhan ruhiyah, saya mencari tempat-tempat majelis ilmu untuk belajar.


Dalam bidang akademis, saya termasuk orang yang tidak menonjol dan tergolong datar, prestasi terbaik yang pernah saya raih ketika saya meraih rangking 2 di kelas 2 SDN Sompok Semarang, selain itu, rangking 10 dari bawah lah yang lebih sering mengisi rapot-rapot saya, namun jarang terlihat nilai 65 di rapot saya. Mungkin karena iklim kompetisi mulai dari SD, SMP, SMA yang memang dikondisikan oleh Allah untuk menuntut saya “berlari” mengejar teman-teman yang lebih pintar dan lebih mudah menyerap ilmu dari pada kemampuan saya. Prestasi yang pernah saya raih lebih kepada bidang non akademis saya, menjadi perenang handal ketika kecil terbukti dengan sertifikat yang saya miliki, menjadi pemain bass dalam siaran live tvri semarang dalam ansambel SD, menjadi ketua di lomba pramuka siaga SD 2 tahun berturut-turut dan menjadi juara I di tingkat kecamatan dan juara III di tingkat kabupaten purworejo. Tim gerak jalan tingkat SD dan menjadi juara IV, anggota tim karawitan sejak SD hingga SMA dan telah pentas dimana-mana. Tim basket Putra SMA dalam kejuaaan POPDA 3 tahun berturut-turut dan meraih juara III. Paskibra kabupaten Purworejo, Lomba Baris Berbaris tingkat karesidenan kedu, dll.


Selama proses pembelajaran yang Allah berikan dalam hidup saya, hanya ada 2 orang yang benar-benar menjadi guru, teladan, dan motivator yang dahsyat, bapak dan alm. ibu saya. Dan nilai yang tidak bisa saya lepaskan dari mereka berdua adalah bagaimana mereka bisa menyambung tali silaturrahmi dan saling peduli dengan saudara, nilai sosial dimana kita harus bisa menempatkan diri dalam masyarakat, dll.


Moment ketika SMA adalah salah satu momentum saya mulai berkembang, lebih tepatnya ketika saya menjadi Pengurus OSIS di bagian Seksi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Suatu seski yang bisa dikatakan seksi serba disiplin dalam perannya sekolah, sangat bertolak belakang dengan sifat saya yang acak-acakan, kurang tegas, dan mencla-mencle. Benar-benar menjadi titik tolak bagi saya untuk segera megubah image saya di mata teman-teman dan guru. Ketua PKS yang suka merazia dan memberi sangsi bagi teman yang melanggar, pengawas pskibra yang suka memarahi dan menindak tegas anggota paskibra yang salah, dll selalu menghiasi 1 tahun kepengurusan saya dan berdampak besar bagi saya sampai saat ini. Saya menjadi paham arti kebersamaan, kekeluargaan, ketegasan, mengajarkan dengan hati, dan bertindak cepat.

Saya pernah menempuh perjalanan yang membuat saya lebih membuka mata akan dunia. Saya mengunjungi Malaysia dan Singapura dalam rangkaian kunjungan industri JTMI. Banyak pelajaran yang saya dapatkan selama perjalanan saya, dan sampai di satu titik yang bisa saya tarik kesimpulan bahwa “ORANG-ORANG INDONESIA TIDAK AKAN PERNAH BISA BERSYUKUR ATAS SEMUA NIKMAT YANG ALLAH BERIKA SEBELUM MEREKA MEMBUKA MATA DAN MELIHAT KONDISI NEGARA LAIN DI DUNIA”.

Pengalaman saya yang paling berkesan adalah ketika gunung berapi meletus, bulan maret tahun lalu, ketika saya dan bapak berupaya untuk mengevakuasi ibu dari semua debu gunung berapi. Tergambar jelas bagaimana bapak berusaha sekuat tenaga merayu ibu untuk segera berangkat ke pati tetapi ibu jelas-jelas ingin mendampingi bapak di purworejo yang sedang kerepotan mengurus berbagai bendungan yang jebol, padahal saat itu ibu sudah divonis terkena kanker paru-paru stadium 4 (saya baru tahu ketika ibu akan meninggal, ibu tidak pernah membicarakan penyakitnya pada anak-anaknya terutama pada adik yang sedang belajar di US Amerka). Saya yang berjuang berangkat dari Jogjakarta akhirnya bisa bertemu beliau berdua di Semarang. Dan akhirnya, Allah menugaskan saya untuk menjaga ibu hingga detik-detik akhir hidup beliau, tanpa didampingi sang suami, mas imam, dan handi. Hanya saya.




Saya bersyukur atas semua proses pembelajaran yang Allah berikan kepada saya dan keluarga saya.

dan sekarang, hanya satu hal yang ada di setiap cita-cita yang saya rencanakan di dunia, entah bagaimana caranya, rencana-rencana itu akan saya rancangan agar pada akhirnya saya bisa bertemu ibu dan keluarga yang luar biasa ini di surgaNya, surga Allah SWT, dan bertemu sang pencipta. Berkumpul dengan tauladan saya, Rasulullah Muhammad SAW.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tito, saya baru nemu blogmu. dan baru baca postingan ini. Ternyata teramat banyak yg tidak kami semua ketahui ttg km.

entah, sy speechless.

semoga dipertemukan di surga-Nya, dikumpulkan dg orang2 yg dicintai didunia. Dan semoga, keluarga SAMSAI termasuk di dalamnya. amiiiin.